Kamis, 28 Mei 2015

AKU RINDU AYAH

AYAH..
aku rindu padamuuu, setelah hampir 3 tahun lamanyaa kita berpisahh walau terkadang waktu begitu cepat memisahkan kitaaa...
AYAAHHH....
aku ingin berceritaaa... :( sebelumnyaa aku ingin meminta maaf padamu terlebih dahulu walau memang terlambat aku mengucapkannyaa..
Ayahh...
terkadang aku merasa iri terhadap mereka yang masih mempunyai keluarga yang utuh,, aku irii terhadap mereka yang memiliki penuh kasih sayang dari ayahnyaa... :( :( aku iri ayaaahhh..
aku ingin sepertiii mereka merasakan kasih sayang, pelukan hangat dari seorang ayaahh... aku tau ayah bukanlah orang seperti yang aku kiraa,, walau aku terkadang merasa irii tetapi aku tetap bersyukur karena memiliki orang tua seperti ayah dan ibuu, memiliki keluarga yang akan peduli tentang diriku,,
Ayahh
terkadang aku berfikir,, walau itu tak pernah aku rasakan tetapi aku merasakannya sekarangg,, setiap saat aku lupa mengirimkan doa untukmuu, engkau selalu menegurkuu walau memang tidak secara langsunggg... dan setiap engkau rindu aku selalu merasakan kehadiranmuu..
Ayahh
Aku berterima kasihh padamuu, karenamu dan ibu aku bisa menjadi seperti inii,, ayaahhh sekarang aku bisa merasakan kasih sayang walau memang itu bukan ayahh,, tapu bagiku dia bisa menjadi ayah buatkuu
Ayah
aku lupaa,, mukenah yang kau berikan masih tersimpan rapi dan selalu ibu gunakann, dan setiap aku lihat ukena ituu aku ingat tentang ayaaahhh,,, dan aku akan menjaganya dan itu adalah kenang2an buat aku darii ayahh...
ayah
maaf yaa aku cuma punya foto ayah yang ini yang diambil sekitar 9 tahuunn yang laluu ketika aku masih duduk dibangku kelas 6 SD dan pada saat acara ijabqabul kakak :) :) dan maaf juga ayah aku gak pernah sempat datng buat ziarahh kepusaraa ayaahh,, tetapi dalam sholatku doa untuk ayah insya Allah tetap aku panjatkan...

Akuu rinduu Ayaahhh
Semoga syurga untukmu ayahh :* :* : * :*


Selasa, 26 Mei 2015

FUNGSI PERKEMBANGAN SOSIAL DAN BAHASA DALAM BELAJAR



FUNGSI PERKEMBANGAN SOSIAL
DAN
BAHASA DALAM BELAJAR
A.    PENGERTIAN PERKEMBANNGAN SOSIAL
Perkembangan merupakan proses perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik menyangkut fisik maupun psikis.
Perkembagan secara sistematis berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling ketergantungan atau mempengaruhi antara bagian-bagian organisme (fisik dan psikis), misalnya kemampuan berjalan anak seiring dengan matangnya otot-otot kaki atau keinginan remaja untuk memperhatikan lawan jenisnya seiring dengan matangnya organ-organ seksualnya.
Perkembangan secara progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat meningkat, dan mendalam (meluas) baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis), misalnya perubahan ukuran fisik anak atau perubahan pengetahuan dan kemampuan anak dari yang sederhana kepada yang kompleks.
Perkembangan secara berkesinambungan berarti perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan, misalnya untuk dapat berdiri, seorang anak harus menguasai tahapan perkembangan sebelumnya, yaitu kemampuan duduk dan merangkak.
B.     FUNGSI PERKEMBANGAN SOSIAL
1.      Fungsi perkembangan sosial dalam belajar
   Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial, artinya suatu proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi (meleburkan diri menjadi satu kesatuan, saling berkomunikasi dan bekerja sama).
   Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orangtua, saudara, teman sebaya atau orang dewasa lainnya.
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orangtua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan orangtua ini lazim disebut sosialisasi.
Sueannn Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan afektif.
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial. Pada usia anak, bentuk-bentuk tingkah laku sosial itu adalah sebagai berikut:
a.    Pembangkangan (Negativisme), yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntunan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul kira-kira pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun. Berkembangnya tingkah laku Negativisme pada usia ini dipandang sebagai hal yang wajar. Setelah usia empat tahun, biasanya tingkah laku ini mulai menurun. Antara usia empat dan enam tahun, sikap membangkang/ melawan secara fisik beralih menjadi sikap melawan secara verbal (menggunakan kata-kata). Sikap orangtua terhadap tingkah laku melawan pada usia ini, seyogyanya tidak memandangnya sebagai pertanda bahwa anak itu nakal, keras kepala, tolol atau sebutannya yang negatif. Dalam hal ini, sebaiknya orangtua mau memahami tentang proses perkembangan anak, yaitu bahwa secara naluriah anak itu mempunyai dorongan untuk berkembang dari posisi “dependent” (ketergantungan) ke posisi “independent” (bersikap mandiri). Tingkah laku melawan merupakan salah satu bentuk dari proses perkembangan tersebut.
b.    Agresi (agression), yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal). Maupun kata-kata (verbal). Agresi ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap frustrasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan/ keinginan) yang dialaminya. Agresi ini mewujud dalam perilaku menyerang, seperti: memukul, mencubit, menendang, menggigit, marah-marah, dan mencaci maki. Orangtua yang menghukum anak yang agresif, meningkatnya agresivitas anak. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua berusaha untuk mereduksi, mengurangi agresivitas anak tersebut dengan cara mengalihkan perhatian/ keinginan anak, memberikan mainan atau sesuatu yang diinginkannya (sepanjang tidak membahayakan keselamatannya), atau upaya lain yang bisa meredam agresivitas anak tersebut.
c.       Berselisih/ bertengkar (quarreling), terjadi apabila seorang anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap dan prilaku anak lain, seperti diganggu pada saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.
d.      Menggoda (teasing), yaitu sebagai bentuk lain dari tingkah laku agresif. Menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan), sehingga menimbulkan reaksi marah pada orang yang diserangnya.
e.         Persaingan (rivaly), yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong (di stimulasi) oleh orang lain. Sikap persaingan ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan untuk prestise dan pada usia enam tahun, semangat bersaing ini berkembang dengan lebih baik.
f.          Kerja sama (cooperation), yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok. Anak yang berusia dua atau tiga tahun belum berkembang sikap bekerja samanya, mereka masih kuat sikap”self-centered”-nya. Mulai usia tiga tahun akhir atau empat tahun, anak sudah mulai menampakkan sikap kerja samanya dengan anak lain. Pada usia enam atau tujuh tahun, sikap kerja sama ini sudah berkermbang dengan lebih baik lagi. Pada usia ini anak mau bekerja kelompok dengan teman-temannya.
g.         Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior), yaitu sejenis tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendomonasi atau bersikap” bossiness”. Wujud dari tingkah laku ini, seperti : meminta, menyuruh dan mengancam atau memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
h.         Mementingkan diri sendiri (selfishness), yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya. Anak ingin dipenuhi kenginannya apabila ditolak, maka dia protes dengan menangis, menjerit atau marah-marah.
i.           Simpati (sympati) yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerja sama dengannya. Seiring dengan bertambahnya usia anak mulai dapat mengurangi sikap “selfish“ -nya dan mulai mengembangkan sikap sosialnya, dalam hal ini rasa simpati terhadap orang lain.
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, baik orangtua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman-teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut menfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif, maka akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Namun, apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif seperti perlakuan orang tua yang kasar, sering memarahi, acuh tak acuh, tidak memberikan bimbingan, teladan, pengajaran atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma-norma, baik agama maupun tatakrama/ budi pekerti, cenderung menampilkan perilaku maladjustment (bersifat minder, senang mendominasi orang lain, egois, menyendiri, kurang memiliki rasa tenggang rasa dan kurang memperdulikan norma dalam berperilaku).
Pada usia prasekolah (terutama mulai usia 4 tahun), perkembangan sosial anak sudah tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah:
a.       Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain.
b.      Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada aturan.
c.       Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain.
d.      Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya (peer group).
      Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim sosiopsikologis keluarganya. Apabila di lingkungan keluarga tercipta suasana yang harmonis, saling memperhatikan, saling membantu (bekerja sama) dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga atau anggota keluarga, terjalin komunikasi antaranggota keluarga, dan konsisten dalam melaksanakan aturan, maka anak akan memiliki kemampuan, atau penyesuaian sosial dalam hubungan dengan orang lain. Kematangan penyesuaian sosial anak akan sangat terbantu, apabila anak dimasukkan ke Taman Kanak-kanak. TK sebagai “jembatan bergaul” merupakan tempat yang memberikan peluang kepada anak untuk belajar memperluas pergaulan sosialnya, dan menaati peraturan (kedisiplinan).
          Perkembangan sosial pada anak-anak Sekolah Dasar ditandai dengan adanya perluasan hubungan, di samping dengan keluarga juga dia mulai membentuk ikatan baru dengan teman sebaya (peer group) atau teman sekelas, sehingga ruang gerak hubungan sosialnya telah bertambah luas. Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebayanya, dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang), dia merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya.
          Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik (seperti, membersihkan kelas dan halaman sekolah), maupun tugas yang membutuhkan pikiran (seperti merencanakan kegiatan camping, membuat laporan study tour). Dengan melaksanakan tugas kelompok, peerta didik dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling mnghormati, bertenggang rasa dan bertanggung jawab.
          Pada masa remaja berkembang “social cognition” , yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini, mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan mereka (terutama teman sebaya), baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran). Dalam hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut interes, sikap, nilai, dan kepribadian.
          Pada masa ini juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran (hobby) atau keinginan orang lain (teman sebaya). Perkembangan sikap konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif maupun yang negatif bagi dirinya. Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti atau diimitasinya itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral atau agama dapat dipertanggungjawabkan, seperti kelompok remaja yang taat beribadah, memiliki budi pekerti yang luhur, rajin belajar dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, maka kemungkinan besar tersebut akan menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan sikap dan perilaku malasuai atau melecehkan nilai-nilai moral, maka kemungkinkan besar remaja akan menampilkan perilaku seperti kelompoknya tersebut.
          Remaja sebagai bunga dan harapan bangsa serta pemimpin di masa depan sangat diharapkan dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti dia memiliki penyesuaian sosial (social adjustment) yang tepat. Penyesuaian sosial ini dapat diartikan sebagai “ kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi”. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial ini, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

2.       Fungsi perkembangan bahasa dalam belajar
Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini, tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.
            Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Bahasa merupakan anugerah dari Allah Swt, yang dengannya manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam, penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan budayanya.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan. Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga kata. Laju perkembangan itu sebagai berikut:
a.       Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti: “Bapak makan”.
b.      Usia 2,0 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak tidak makan”.
c.       Pada usia selanjutnya, anak dapat menusun pendapat:
1)      Kritikan:“Ini tidak boleh, ini tidak baik”.
2)      Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi.
3)      Menarik kesimpulan analogi, seperti:  anak melihat ayahnya tidur karena sakit, pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur karena sakit.
Dalam perkembangan bahasa, ada dua tipe perkembangan bahasa anak yaitu:
a.       Egocentric Speech, yaitu anak berbicara kepada dirinya sendiri (monolog).
b.      Socialized Speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk: (a) adapted information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain, (c) tquestions (pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).
Berbicara monolog (Egocentric Speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yag pada umumnya dilakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “Socialized Speech, mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment).
Pada fase bayi ada tiga bentuk prabahasa yang normal muncul dalam pola perkembangan bahasa, yakni menangis, mengoceh, dan isyarat. Menangis adalah lebih penting karena merupakan dasar bagi perkembangan bahasa yang sebenarnya. Isyarat dipakai bayi sebagai pengganti bahasa, sedangkan pda anak yang lebih tua atau orang dewasa, isyarat dipakai sebagai pelengkap bahasa.karena bahasa dipelajari melalui proses meniru maka bayi perlu memperoleh model atau contoh yang baik supaya dapat meniru kata-kata yang baik.
Perkembangan bahasa anak usia prasekolah, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.       Pada usia 2,0 - 2,6 tahun yang bercirikan:
1)      Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna.
2)      Anak sudah mampu memahami tentang perbandingan, misalnya burung pipit lebih kecil dari burung perkutut, anjing lebih besar dari kucing.
3)      Anak banyak menanyakan nama dan tempat: apa, dimana, dan dari mana.
4)      Anak sudah banyak menggunakan kata-kata yang berawalan dan yang berakhiran.
b.      Pada usia 2,6 - 6,0 yang bercirikan:
1)      Anak sudah dapat menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya.
2)      Tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal waktu sebab-akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, ke mana, mengapa, dan bagaimana.
Untuk membantu perkembangan bahasa anak, atau kemampuan bahasa anak maka orang tua dan guru Taman Kanak-kanak (TK) seyogianya memfasilitasi, memberi kemudahan atau peluang kepada anak dengan sebaik-baiknya. Berbagai peluang itu diantaranya sebagai berikut:
a.       Bertutur kata yang baik dengan anak.
b.      Mau mendengarkan pembicaraan anak.
c.       Menjawab pertanyaan anak (jangan meremehkannya).
d.      Mengajak berdialog dalam hal-hal sederhana, seperti memelihara kebersihan rumah, sekolah  dan memelihara kesehatan diri.
e.       Di Taman Kanak-kanak, anak dibiasakan untuk bertanya, mengekspresikan keinginannya, menghafal, dan melantunkan lagu dan puisi.
Perkembangan bahasa pada usia sekolah dasar merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai pembendaharaan kata (vocabulary). Pada masa ini anak sudah menguasai sekitar 2.500 kata, dan pada masa akhir (usia 11-12 tahun) telah dapat menguasai sekitar 50.000 kata (Abin Syamsudin M, 1991; Nana Syaodih S, 1990). Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan berkomunikasi dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan cerita yang bersifat kritis (tentang perjalanan/ petualangan, riwayat para pahlawan, dsb). Pada masa ini tingkat berpikir anak sudah maju, dia banyak menanyakan soal waktu dan sebab akibat.
Terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu sebagai berikut:
a.       Proses jadi matang, dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/ bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata.
b.      Proses belajar, yang berarti bahwa anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan/ kata-kata yang didengarkannya. Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak, sehingga pada usia anak memasuki sekolah dasar, sudah sampai pada tingkat: (1) dapat membuat kalimat yang lebih sempurna, (2) dapat membuat kalimat majemuk, (3) dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perkembangan merupakan proses perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik menyangkut fisik maupun psikis.


DAFTAR PUSTAKA


1.      Dahlan Djawad. 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2.      Al Idrus Agil. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Mataram: Alam Tara Institute.
3.      Syaodih, Sukmadinat Nana. 2011. Landasan Psikologi Proses pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

LUPA DAN TRANSFER BELAJAR




MAKALAH PSIKOLOGI BELAJAR
(LUPA, TRANSFER BELAJAR, DAN MEMORY)


 








OLEH
TRIA AMI LAKSMI



PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2015


BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mengetahui dalam Psikologi Belajar apa, kapan, dan bagaimana transfer belajar, lupa dan memori (ingatan) itu bekerja dalam diri individu. Serta bagaimana mengaplikasikannya dalam kegiatan sehari-hari. Teori tentang lupa, transfer belajar dan memori (ingatan) ini sangat perlu kita pahami karena akan sangat berpengaruh pada keberhasilan atau keefektifan pembelajaran. Dengan mengetahui cara kerja ketiga teori psikologi tersebut kita akan dengan mudah mengaplikasikan suatu pelajaran dalam diri individu. Berikutakan akan dipaparkan teori psikologi belajar tentang lupa, transfer belajar dan memory (ingatan).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Lupa?
2.      Apa saja faktor-faktor penyebab lupa?
3.      Apakah pengertian Transfer Belajar?
4.      Apakah pengertrian memori (ingatan)?
C.     Tujuan Penulisan
Makalah ini saya tulis dengan tujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah psikologi belajar, selain itu tujuan penulisan makalah ini yakni untuk mengetahui komponen-komponen teori yang menunjang pembelajaran, yakni terkait dengan lupa, transfer belajar dan memori (ingatan).













BAB II
PEMBAHASAN
A.    LUPA
Lupa adalah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari. Secara sederhana Gulo (1982) dan Reber (1988) dalam Muhibbin Syah (2001) mendefinisikan lupa sebagai ketidak mampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah di pelajari atau dialami.
Lupa merupakan istilah yan sangat populer di masyarakat. Setiap waktu pasti ada orang lupa akan sesuatu, entah hal itu tentang peristiwa atau kejadian di masa lampau atau sesuatu yang akan dilakukan (Muhibbin Syah 2001).
B.     Faktor-faktor penyebab lupa
1)      Penyebab Lupa Menurut Ngalim Purwanto (1989) Dalam  Syaiful Bahri Djaramah (2002) :
1.    Karena apa yang dialami itu tidak pernah digunakan lagi atau tidak pernah dilatih atau diingat lagi. Berkenaan dengan itu ada sebuah hukum yang berbunyi “law of disuse”(hukum tak terpakai) yang dikemukakan oleh Thorndike. Hukum itu menyebutkan hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lemah bila tidak ada latihan.
2.    Karena adanya hambatan-hambatan yang terjadi karena isi jiwa yang lain. Tidak baik mencampur adukkan pelajaran-pelajaran dalam pikiran saat belajar; karena hal itu justru akan menghambat satu sama lain. Maka tidak baik mempelajari materi yang berbeda pada saat yang sama.
3.     Karena depresi atau tekanan. Tanggapan-tanggapan/isi jiwa ditekan ke dalam ketidaksadaran (alam bawah sadar) oleh ego. Karena terus menerus mengalami tekanan, maka lama kelamaan akan menjadi lupa.
Beberapa penyebab terjadinya lupa karena tekanan:
Ø Karena informasi (tanggapan, pengetahuan, kesan, dsb) yang diterima “kurang menyenangkan”, sehingga secara sengaja menekannya hingga ke dalam ketidaksadaran.
Ø Karena informasi yang baru secara otomatis menekan informasi yang lama.
Ø Karena informasi yang akan diingat kembali itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya sebab tak pernah digunakan.


2)      Penyebab lupa menurut Muhibin Syah:
Ø Lupa karena perubahan situasi lingkungan, seperti antara waktu belajar di sekolah dengan waktu belajar/ mengingat kembali di luar sekolah. Misal: jika seorang anak hanya mengenal jerapah lewat gambar-gambar di sekolah, kemungkinan dia akan lupa mengingat nama hewan itu ketika ke kebun binatang.
Ø Lupa karena perubahan sikap dan minat. Misal: jika seorang guru memarahi anak di depan teman-temannya, anak menjadi takut sehingga pelajaran mudah terlupakan.
Ø Lupa karena perubahan urat syaraf otak. Misal: keracunan, kecanduan, gegar otak.
Ø Lupa karena kerusakan informasi sebelum masuk ke memori. Sebelum informasi itu terserap dengan baik dan disimpan dengan baik oleh otak, seseorang telah melakukan/ menerima informasi lain sehingga penyimpanan awal tidak sempurna dan cenderung hilang.
3)      Penyebab lupa menurut W.S.Winkel (1989) Dalam  Syaiful Bahri Djaramah (2002) :
Ø Pandangan Woodworth- Gejala lupa disebabkan bekas-bekas ingatan yang tidak dipergunakan, sehingga lama kelamaan akan terhapus.
Ø Pandangan interfensi- Lupa disebabkan oleh adanya gangguan dari informasi yang baru masuk ke dalam ingatan terhadap informasi yang telah lama tersimpan, sehingga seolah-olah informasi yang lama digeser dan kemudian lebih sukar diingat.
Ø Pandangan bermotif- Ada alasan tertentu dari setiap orang untuk menilai sesuatu hal. Kejadian kurang menyenangkan akan mudah terhapus dan terlupakan daripada yang menyenangkan.
C.    Kiat-Kiat mengurangi lupa menurut W.S. Winke (1989) Dalam Syaiful Bahri Djaramah (2002)  adalah:
*      Adanya motivasi belajar yang kuat (khususnya motivasi yang berasal dari dalam diri sendiri)
*      Memancing perhatian anak didik agar mereka tertarik dengan materi yang diajarkan sehingga materi lebih mudah diingat
*      Anak didik perlu mengolah materi dengan baik dan segera
                                            
*      Berkas-berkas yang tersimpan dalam memori dalam jangka panjang supaa diperbaharui dengan menggalinya ari ingatan, mengolah kembali, dan memasukkannya lagi ke ingatan
*      Guru memberikan pertanyaaan yang terarah agar anak didik berhasil menggali informasi dari ingatannya
D.    TRANSFER BELAJAR
Transfer dalam bahasa yang lazim disebut transfer belajar (transfer of learming) itu mengandung arti pemindahan keterampilan hasil belajar dari satu situasi kesituasi lainnya (Reber 1988).
Peristiwa pemindahan pengaruh (transfer) sebagaimana tersebut diatas pada umumnya atau hampir  selalu membawa dampak, baik positif maupun negatif terhadap aktifitas dan hasil pembelajaran materi pelajaran atau keterampilan lain. Sehingga, transfer dapat dibagi dua kategori, yakni transfer positif dan transfer negatif.
Menurut Theory of Identical Element yang dikembangkan oleh E.L Thorndike, transfer positif biasanya terjadi apabila ada kesamaan elemen antara materi yang lama dengan materi yang baru. Contoh, seorang siswa yang telah menguasai matematika akan mudah memepelajari statistika.
1.      Ragam Transfer Belajar
Selanjutnya, menurut Gagne seorang education psychologist (pakar psikologi pendidikan) yang mahsyur, transfer dalam belajar dapat digolongkan, yaitu :
v  transfer positif, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjtnya;
v  transfer negatif, yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutnya;
v  transfer vertical, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar penegetahuan/keterampilan yang lebih tinggi;
v  transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang sederajat.
2.      Terjadinya Transfer Belajar Positif
Transfer positif akan mudah terjadi pada diri seorang siswa apabila situasi belajarnya dibuat sama atau mirip dengan situasi sehari-hari yang akan ditempati siswa tersebut kelak dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah ia pelajari di Sekolah. Transfer positif dalam pengertian seperti inilah sebenarnya yang perlu diperhatikan guru, mengingat tujuan pendidikan secara umum adalah  terciptanya sumber daya manusia berkualitas yang adaptif. Kualitas inilah yang seyogyanya didapat dari lingkungan pendidikan untuk digunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu setiap lembaga kependidikan terutama jenjang pendidikan menengah, perlu menyediakan kemudahan-kemudahan belajar, seperti alat-alat dan ruang kerja yang akan ditempati siswa kelak setelah lulus. Apabila cara ini sulit ditempuh, alternatif lain dapat diambil umpamanya on the job training, yaitu mengadakan praktek lapangan di tempat- tempat kerja seperti kantor, sekolah, pabrik, kebun, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan jurusan dan keahlian yang dimilikinya.
Berdasarkan hasil-hasil riset kognitif , yakni bahwa transfer positif hanya akan terjadi pada diri seorang siswa apabila dua wilayah pengetahuan atau keterampilkan yang dipelajari siswa tersebut menggunakan dua fakta atau pola yang sama, dan membuahkan hasil yang sama pula. Dengan kata lain, dua domain pengetahuan tersebut merupakan sebuah pengetahuan yang sama.
Jadi, orang yang menduga bahwa seorang siswa yang telah pandai membaca al-Qur’an akan secara otomatis mudah belajar bahasa Arab karena ada kesamaan elemen (sama-sama bertulisan Arab) perlu dipertanyakan. Namun, seorang siswa yang pandai dalam seni baca al-Qur’an (qori) sangat mungkin dia mudah belajar tarik suara (menyanyi), karena dalam dua wilayah keterampilan itu terdapat kesamaan struktur logika, yakni logika seni. Demikian pula halnya dengan siswa yang sudah menguasai bahasa dan sastra Indonesia, ia mungkin akan mudah menjadi seorang pengarang. Sekali lagi, mudahnya siswa tersebut menjadi pengarang bukan karena adanya kesamaan elemen, melainkan karena antara penguasaan bahasa dan sastra dengan aktivis mengarang itu terdapat “benang merah” yang muncul dari struktur logika pengetahuan yang sama.
Sesungguhnya transfer itu merupakan peristiwa kognitif (ranah cipta/akal) yang terjadi karena belajar. Jadi, belajar dalam hal ini seyogyanya dipandang sebagai keadaan sebelum transfer atau prasyarat adanya transfer. Dengan demikian, anggapan bahwa transfer itu spontan dan mekanis (seperti mesin atau robot) sebenarnya berlawanan dengan hakekat belajar itu sendiri, yakni perbuatan siswa yang sedikit atau banyak selalu melibatkan aktivitas ranah kognitif.
Sebagai catatan akhir pembahasan ini, perlu diutarakan beberapa contoh peristiwa belajar yang secara lahiriyah tampak seperti transfer tapi sesungguhnya bukan. Contoh-contoh ini penting untuk diketahui agar siswa dan guru tidak terkecoh oleh timbulnya sesuatu yang baru dan baik sebagai sesuatu yang sedang diharapkan, yakni transfer positif.
E.     Memory (Ingatan)
Sebelum ilmu pengetahuan modern mengenai otak, yaitu neurofisiologi dan psikologi, mengungkapkan kekuatan dan potensi yang luar biasa dari otak manusia, bangsa Yunani telah menemukan bahwa kinerja mental dapat ditingkatkan secara luar biasa dengan menggunakan teknik tertentu. Bangsa Yunani mengembangkan sistem memori mendasar yang disebut mnemonik (yang membantu ingatan), sebuah nama yang diambil dari nama Dewi Memori yang mereka puja yaitu Mnemosyne. Teknik mnemonic ini dipertukarkan diantara anggota kaum intelektual yang elit di masa itu, dan dipergunakan untuk tugas mengingat hal yang sangat banyak dengan prestasi tinggi dalam masyarakat yang memberikan kekuatan pribadi, ekonomi, politik, dan militer kepada orang yang melakukannya. Jadi bangsa Yunani adalah Gladiator pikiran, dimana stadionnya adalah gelanggang intelektual dan senjata utamanya adalah memori.
Ingatan atau sering disebut memory adalah sebuah fungsi dari kognisi yang melibatkan otak dalam pengambilan informasi. Ingatan akan dipelajari lebih mendalam di psikologi kognitif dan ilmu saraf. Pada umumnya para ahli memandang ingatan sebagai hubungan antara pengalaman dengan masa lampau. Apa yang telah diingat adalah hal yang pernah dialami, pernah dipersepsinya, dan hal tersebut pernah dimasukkan kedalam jiwanya dan disimpan kemudian pada suatu waktu kejadian itu ditimbulkan kembali dalam kesadaran. Ingatan merupakan kemampuan untuk menerima dan memasukkan (learning), menyimpan (retention) dan menimbulkan kembali apa yang pernah dialami (remembering). ingatan  adalah  penyimpanan informasi disetiap waktu. Para psikologi pendidikan mempelajari bagaimana informasi pada awalnya ditempatkan atau dikodekan menjadi ingatan, bagaimana informasi disimpan setelah dikodekan dan bagaimana informasi ditemukan atau dipanggil kembali untuk tujuan tertentu diwaktu yang akan datang. Bagian utam dari memory ini adalah berfokus pada pengodean, penyimpanan, dan pemanggilan kembali.  Supaya memory berfungsi, anak-anak harus mengambil informasi, menyimpannya atau menyampaikannya, serta kemudian mendapatkannya kembali untuk tujuan tertentu di kemudian hari (John W Santrock 2012).
Dalam proses mengingat informasi ada 3 tahapan yaitu memasukkan informasi (encoding), penyimpanan (storage), dan mengingat (retrieval stage).

1.      Fungsi Memasukkan (Encoding)
Proses Encoding (pengkodean terhadap apa yang dipersepsi dengan cara mengubah menjadi simbol-simbol atau gelombang-gelombang listrik tertentu yang sesuai dengan peringkat yang ada pada organisme). Jadi encoding merupakan suatu proses mengubah sifat suatu informasi ke dalam bentuk yang sesuai dengan sifat-sifat memori organisme. Proses ini sangat mempengaruhi lamanya suatu informasi disimpan dalam memori.
Proses pengubahan informasi ini dapat terjadi dengan dua cara, yaitu:
ü Tidak sengaja, yaitu apabila hal-hal yang diterima oleh inderanya dimasukkan dengan tidak sengaja ke dalam ingatannya. Contoh konkritnya dapat kita lihat pada anak-anak yang umumnya menyimpan pengalaman yang tidak disengaja, misalnya bahwa ia akan mendapat apa yang diinginkan jika ia menangis keras-keras sambil berguling-guling.
ü Sengaja, yaitu bila individu dengan sengaja memasukkan pengalaman dan pengetahuan ke dalam ingatannya. Contohnya kita sebagai mahasiswa, dimana dengan sengaja kita memasukkan segala hal yang dipelajarinya di perguruan tinggi.
2.      Fungsi Menyimpan (Storage)
Fungsi kedua dari ingatan adalah mengenai penyimpanan (penyimpanan terhadap apa yang telah diproses dalam encoding, apa yang dipelajari atau apa yang dipersepsi). Sesuatu yang telah dipelajari biasanya akan tersimpan dalam bentuk jejak-jejak (traces) dan bisa ditimbulkan kembali. Jejak-jejak tersebut biasa juga disebut dengan memory traces. Walaupun disimpan namun jika tidak sering digunakan maka memory traces tersebut bisa sulit untuk ditimbulkan kembali bahkan juga hilang, dan ini yang disebut dengan kelupaan. Sehubungan dengan masalah retensi dan kelupaan, ada satu hal yang penting yang dapat dicatat, yaitu mengenai interval atau waktu antara memasukkan dan menimbulkan kembali.
Masalah intercal dapat dibedakan atas lama interval dan isi interval:
1.     Lama interval, yaitu berkaitan dengan lamanya waktu pemasukan bahan (act of remembering). Lama interval berkaitan dengan kekuatan retensi. Makin lama intervalnya, makin kurang kuat retensinya, atau dengan kata lain kekuatan retensinya menurun.
2.     Isi interval, yaitu berkaitan dengan aktivitas-aktivitas yang terdapat atau mengisi interval. Aktivitas-aktivitas yang mengisi interval akan merusak atau mengganggu memory traces, sehingga kemungkinan individu akan mengalami kelupaan.
Atas dasar lama interval dan isi interval, hal tersebut merupakan sumber atau dasar berpijak dari teori-teori mengenai kelupaan.
3.      Fungsi Menimbulkan Kembali (Retrival)
Fungsi ketiga ingatan adalah berkaitan dengan menimbulkan kembali hal-hal yang disimpan dalam ingatan. Proses mengingat kembali merupakan suatu proses mencari dan menemukan informasi yang disimpan dalam memori untuk digunakan kembali bila dibutuhkan. Mekanisme dalam proses mengingat kembali sangat membantu organisme dalam menghadapi berbagai persoalan sehari-hari. Seseorang dikatakan “Belajar dari Pengalaman” karena ia mampu menggunakan berbagai informasi yang telah diterimanya di masa lalu untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi saat ini juga.
Menimbulkan kembali ingatan yang sudah disimpan dapat menggunakan cara:
v  Recall, yaitu proses mengingat kembali informasi yang dipelajari di masa lalu tanpa petunjuk yang dihadapkan pada organisme. Conyohnya mengingat nama seseorang tanpa kehadiran orang yang dimaksud.
v  Recognize, yaitu proses mengenal kembali informasi yang sudah dipelajari melalui suatu petunjuk yang dihadapkan pada organisme. Contohnya mengingat nama seseorang saat ia berjumpa dengan orang yang bersangkutan.
v  Redintegrative, yaitu proses mengingat dengan menghubungkan berbagai informasi menjadi suatu konsep atau cerita yang cukup kompleks. Proses mengingat reintegrative terjadi bila seseorang ditanya sebuah nama, misalnya Siti Nurbaya (tokoh sinetron), maka akan teringat banyak hal dari tokoh tersebut karena orang tersebut telah menontonnya berkali-kali.
F.     Eksperimen Mengenai Ingatan
Beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ingatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Metode dengan melihat waktu atau usaha belajar (the learning time method)
Metode ini merupakan metode penelitian ingatan dengan melihat sejauh mana waktu yang diperlukan oleh seseorang untuk dapat menguasai materi yang dipelajari dengan baik, seperti dapat mengingat kembali materi tersebut tanpa kesalahan.
Misalnya seseorang yang disuruh mempelajari suatu syair lagu dan orang tersebut harus menimbulkan kembali syair tanpa ada kesalahan. Bila kriteria ini telah terpenuhi, maka diukur waktu yang diperlukan hingga mencapai kriteria tersebut. Individu yang satu lebih cepat daripada individu yang lain, tetapi ada pula yang lambat. Hal tersebut menunjukkan bahwa waktu atau usaha yang dibutuhkan oleh seseorang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan masing-masing.
2.      Metode belajar kembali (the relearning method)
Metode ini merupakan metode yang berbentuk dimana suatu individu disuruh mempelajari kembali materi yang telah dipelajari sampai pada suatu kriteria tertentu. Dalam relearning, untuk mempelajari materi yang sama untuk kedua kalinya membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat dibanding dengan pertemuan pertama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin sering dipelajari, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya, dan semakin banyak materi yang dapat diingat dengan baik, dan makin sedikit materi yang dilupakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses relearning ada waktu yang dihemat untuk disimpan. Oleh karena itu metode ini disebut juga dengan metode saving method.
3.      Metode rekonstruksi
Metode ini menugaskan individu untuk mengkronstruksi kembali materi yang telah diberikan kepadanya. Dalam mengkonstruksi kembali dapat diketahui waktu yang digunakan, kesalahan-kesalahan yang diperbuat, sampai pada kriteria tertentu. Contohnya seperti bermain puzzle.
4.      Metode mengenali kembali (recognition)
Dalam metode ini penelitian dalam memori ditekankan pada recognition (mengenal kembali). Jadi subjek diminta untuk mempelajari materi kemudian materi tadi disajikan ulang dengan penyertaan materi lain. Adanya materi lain untuk mentes subjek apakah ia mampu mengenal kembali materi yang telah dipelajari sebelumnya diantara materi-materi lain yang disajikan.
5.      Metode mengingat kembali
Dalam metode ini yang ditekankan adalah proses recall (mengingat kembali) terhadap apa yangtelah dipelajari sebelumnya. Misalnya pada tes yang berbentuk essai atau pada tugas-tugas pengarang dimana subjek diminta untuk mengingat kembali peristiwa atau pengalaman yang dialaminya.
6.      Metode asosiasi berpasangan
Metode ini mengambil bentuk subjek disuruh mempelajari materi secara berpasang-pasangan. Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan  mengingat apa yang telah dipelajarinya, maka dalam evaluasi, salah satu pasangan digunakan sebagai stimulus, dan subjek disuruh menampilkan kembali (baik recall maupun recognition).
































BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Dari beberapa pendapat dan teori yang di kemukakan para ahli  dapat disimpulkan bahwa,  lupa adalah hilangnya kemampuan untuk mengingat kembali apa yang telah atau apa yang akan dilakukan oleh seseorang. Selanjutnya transfer belajar adalah suatu proses pemindahan atau pengiriman ilmu yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Kemudian memory (ingatan) merupakan kemampuan untuk menerima dan memasukkan, menyimpan dan menimbulkan kembali apa yang pernah dialami. Ingatan  adalah  penyimpanan informasi disetiap waktu dan dapat di panggil kapanpun.
B.     SARAN
Penulisan makalah ini sangat jauh dari kata sempurna oleh karena itu saran yang sifatnya membangun dari para pembaca sangat saya butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini. Di harapkan untuk para calon guru hendaknya memahami secara mendalam teori-teori dalam psikologi belajar, dalam hal ini teori mengenai lupa, transfer belajar dan memori (lupa) karena itu sangat penting untuk menunjang keberhasilan belajar. Dengan memahami teori-teori dalam psikologi belajar kita akan dapat dengan mudah menghadapi anak didik kita.















DAFTAR PUSTAKA
Syah, Muhibbin. 2011. PSIKOLOGI BELAJAR. Cetakan kesebelas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Syah, Muhibbin. 2001. PSIKOLOGI BELAJAR. Cetakan ketiga. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Djaramah, Syaiful Bahri. 2002. PSIKOLOGI BELAJAR. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Santrock, John W. 2012. PSIKOLOGI PENDIDIKAN. Jakarta: Salemba Humanika.
Walgito, Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.