FUNGSI PERKEMBANGAN SOSIAL
DAN
BAHASA DALAM BELAJAR
A.
PENGERTIAN PERKEMBANNGAN SOSIAL
Perkembangan
merupakan proses perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme
menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis,
progresif, dan berkesinambungan baik menyangkut fisik maupun psikis.
Perkembagan
secara sistematis berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling
ketergantungan atau mempengaruhi antara bagian-bagian organisme (fisik dan
psikis), misalnya kemampuan berjalan anak seiring dengan matangnya otot-otot
kaki atau keinginan remaja untuk memperhatikan lawan jenisnya seiring dengan
matangnya organ-organ seksualnya.
Perkembangan
secara progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat meningkat, dan
mendalam (meluas) baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis),
misalnya perubahan ukuran fisik anak atau perubahan pengetahuan dan kemampuan
anak dari yang sederhana kepada yang kompleks.
Perkembangan
secara berkesinambungan berarti perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu
berlangsung secara beraturan atau berurutan, misalnya untuk dapat berdiri,
seorang anak harus menguasai tahapan perkembangan sebelumnya, yaitu kemampuan
duduk dan merangkak.
B.
FUNGSI PERKEMBANGAN SOSIAL
1. Fungsi perkembangan sosial dalam
belajar
Perkembangan sosial merupakan pencapaian
kematangan dalam hubungan sosial, artinya suatu proses belajar untuk
menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi (meleburkan
diri menjadi satu kesatuan, saling berkomunikasi dan bekerja sama).
Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam
arti, dia belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk
mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan
diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai
kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik
orangtua, saudara, teman sebaya atau orang dewasa lainnya.
Perkembangan
sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orangtua
terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial, atau
norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh
kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Proses bimbingan orangtua ini lazim disebut sosialisasi.
Sueannn
Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar yang
membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi
anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan afektif.
Melalui
pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang
dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai mengembangkan bentuk-bentuk
tingkah laku sosial. Pada usia anak, bentuk-bentuk tingkah laku sosial itu
adalah sebagai berikut:
a. Pembangkangan (Negativisme), yaitu suatu bentuk tingkah laku
melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin
atau tuntunan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak.
Tingkah laku ini mulai muncul kira-kira pada usia 18 bulan dan mencapai
puncaknya pada usia tiga tahun. Berkembangnya tingkah laku Negativisme pada
usia ini dipandang sebagai hal yang wajar. Setelah usia empat tahun, biasanya
tingkah laku ini mulai menurun. Antara usia empat dan enam tahun, sikap
membangkang/ melawan secara fisik beralih menjadi sikap melawan secara verbal
(menggunakan kata-kata). Sikap orangtua terhadap tingkah laku melawan pada usia
ini, seyogyanya tidak memandangnya sebagai pertanda bahwa anak itu nakal, keras
kepala, tolol atau sebutannya yang negatif. Dalam hal ini, sebaiknya orangtua
mau memahami tentang proses perkembangan anak, yaitu bahwa secara naluriah anak
itu mempunyai dorongan untuk berkembang dari posisi “dependent”
(ketergantungan) ke posisi “independent” (bersikap mandiri). Tingkah laku
melawan merupakan salah satu bentuk dari proses perkembangan tersebut.
b. Agresi (agression), yaitu perilaku menyerang balik
secara fisik (nonverbal). Maupun kata-kata (verbal). Agresi ini merupakan salah
satu bentuk reaksi terhadap frustrasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi
kebutuhan/ keinginan) yang dialaminya. Agresi ini mewujud dalam perilaku
menyerang, seperti: memukul, mencubit, menendang, menggigit, marah-marah, dan
mencaci maki. Orangtua yang menghukum anak yang agresif, meningkatnya
agresivitas anak. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua berusaha untuk
mereduksi, mengurangi agresivitas anak tersebut dengan cara mengalihkan
perhatian/ keinginan anak, memberikan mainan atau sesuatu yang diinginkannya
(sepanjang tidak membahayakan keselamatannya), atau upaya lain yang bisa
meredam agresivitas anak tersebut.
c. Berselisih/ bertengkar (quarreling), terjadi apabila seorang anak
merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap dan prilaku anak lain, seperti
diganggu pada saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.
d. Menggoda (teasing), yaitu sebagai bentuk lain dari
tingkah laku agresif. Menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain
dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan), sehingga menimbulkan
reaksi marah pada orang yang diserangnya.
e.
Persaingan (rivaly), yaitu keinginan untuk melebihi
orang lain dan selalu didorong (di stimulasi) oleh orang lain. Sikap persaingan
ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan untuk prestise dan pada usia enam tahun,
semangat bersaing ini berkembang dengan lebih baik.
f.
Kerja sama (cooperation), yaitu sikap mau bekerja sama
dengan kelompok. Anak yang berusia dua atau tiga tahun belum berkembang sikap
bekerja samanya, mereka masih kuat sikap”self-centered”-nya.
Mulai usia tiga tahun akhir atau empat tahun, anak sudah mulai menampakkan
sikap kerja samanya dengan anak lain. Pada usia enam atau tujuh tahun, sikap
kerja sama ini sudah berkermbang dengan lebih baik lagi. Pada usia ini anak mau
bekerja kelompok dengan teman-temannya.
g.
Tingkah laku berkuasa (ascendant
behavior),
yaitu sejenis tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendomonasi atau
bersikap” bossiness”. Wujud dari
tingkah laku ini, seperti : meminta, menyuruh dan mengancam atau memaksa orang
lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
h.
Mementingkan diri sendiri
(selfishness),
yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest
atau keinginannya. Anak ingin dipenuhi kenginannya apabila ditolak, maka
dia protes dengan menangis, menjerit atau marah-marah.
i.
Simpati (sympati) yaitu sikap emosional yang
mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain, mau mendekati
atau bekerja sama dengannya. Seiring dengan bertambahnya usia anak mulai dapat
mengurangi sikap “selfish“ -nya dan mulai mengembangkan sikap sosialnya, dalam
hal ini rasa simpati terhadap orang lain.
Perkembangan
sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, baik orangtua, sanak
keluarga, orang dewasa lainnya atau teman-teman sebayanya. Apabila lingkungan
sosial tersebut menfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan
anak secara positif, maka akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara
matang. Namun, apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif seperti perlakuan
orang tua yang kasar, sering memarahi, acuh tak acuh, tidak memberikan
bimbingan, teladan, pengajaran atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan
norma-norma, baik agama maupun tatakrama/ budi pekerti, cenderung menampilkan
perilaku maladjustment (bersifat
minder, senang mendominasi orang lain, egois, menyendiri, kurang memiliki rasa
tenggang rasa dan kurang memperdulikan norma dalam berperilaku).
Pada
usia prasekolah (terutama mulai usia 4 tahun), perkembangan sosial anak sudah
tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman
sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah:
a. Anak mulai mengetahui
aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain.
b. Sedikit demi sedikit anak sudah
mulai tunduk pada aturan.
c. Anak mulai menyadari hak atau
kepentingan orang lain.
d. Anak mulai dapat bermain bersama
anak-anak lain, atau teman sebaya (peer
group).
Perkembangan sosial anak sangat
dipengaruhi oleh iklim sosiopsikologis keluarganya. Apabila di lingkungan
keluarga tercipta suasana yang harmonis, saling memperhatikan, saling membantu
(bekerja sama) dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga atau anggota keluarga,
terjalin komunikasi antaranggota keluarga, dan konsisten dalam melaksanakan
aturan, maka anak akan memiliki kemampuan, atau penyesuaian sosial dalam
hubungan dengan orang lain. Kematangan penyesuaian sosial anak akan sangat terbantu,
apabila anak dimasukkan ke Taman Kanak-kanak. TK sebagai “jembatan bergaul”
merupakan tempat yang memberikan peluang kepada anak untuk belajar memperluas
pergaulan sosialnya, dan menaati peraturan (kedisiplinan).
Perkembangan
sosial pada anak-anak Sekolah Dasar ditandai dengan adanya perluasan hubungan,
di samping dengan keluarga juga dia mulai membentuk ikatan baru dengan teman
sebaya (peer group) atau teman
sekelas, sehingga ruang gerak hubungan sosialnya telah bertambah luas. Pada
usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri
(egosentris) kepada sikap yang kooperatif
(bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang
lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebayanya, dan
bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang), dia
merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya.
Berkat
perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman
sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di
sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai
dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik
(seperti, membersihkan kelas dan halaman sekolah), maupun tugas yang
membutuhkan pikiran (seperti merencanakan kegiatan camping, membuat laporan study tour). Dengan melaksanakan tugas
kelompok, peerta didik dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja
sama, saling mnghormati, bertenggang rasa dan bertanggung jawab.
Pada
masa remaja berkembang “social cognition”
, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain
sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat
nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini, mendorong remaja untuk
menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan mereka (terutama teman
sebaya), baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran). Dalam
hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki kualitas psikologis
yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut interes, sikap, nilai, dan
kepribadian.
Pada
masa ini juga berkembang sikap “conformity”,
yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai,
kebiasaan, kegemaran (hobby) atau keinginan orang lain (teman sebaya).
Perkembangan sikap konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif
maupun yang negatif bagi dirinya. Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti
atau diimitasinya itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral atau
agama dapat dipertanggungjawabkan, seperti kelompok remaja yang taat beribadah,
memiliki budi pekerti yang luhur, rajin belajar dan aktif dalam
kegiatan-kegiatan sosial, maka kemungkinan besar tersebut akan menampilkan
pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan sikap dan
perilaku malasuai atau melecehkan nilai-nilai moral, maka kemungkinkan besar
remaja akan menampilkan perilaku seperti kelompoknya tersebut.
Remaja
sebagai bunga dan harapan bangsa serta pemimpin di masa depan sangat diharapkan
dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti dia memiliki
penyesuaian sosial (social adjustment)
yang tepat. Penyesuaian sosial ini dapat diartikan sebagai “ kemampuan untuk mereaksi secara tepat
terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi”. Remaja dituntut untuk
memiliki kemampuan penyesuaian sosial ini, baik dalam lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat.
2. Fungsi perkembangan bahasa dalam belajar
Bahasa
merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian
ini, tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan
dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan sesuatu dengan
menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.
Bahasa merupakan faktor hakiki yang
membedakan manusia dengan makhluk lain. Bahasa merupakan anugerah dari Allah
Swt, yang dengannya manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama
manusia, alam, penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk
berbudaya dan mengembangkan budayanya.
Bahasa
sangat erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan
pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk
pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan. Perkembangan pikiran itu
dimulai pada usia 1,6-2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat
dua atau tiga kata. Laju perkembangan itu sebagai berikut:
a. Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun
pendapat positif, seperti: “Bapak makan”.
b. Usia 2,0 tahun, anak dapat menyusun
pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak tidak makan”.
c. Pada usia selanjutnya, anak dapat
menusun pendapat:
1) Kritikan:“Ini tidak boleh, ini
tidak baik”.
2) Keragu-raguan: barangkali, mungkin,
bisa jadi.
3) Menarik kesimpulan analogi,
seperti: anak melihat ayahnya tidur
karena sakit, pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa
ibu tidur karena sakit.
Dalam perkembangan bahasa, ada dua
tipe perkembangan bahasa anak yaitu:
a. Egocentric Speech, yaitu anak berbicara kepada dirinya
sendiri (monolog).
b. Socialized Speech, yang terjadi ketika berlangsung
kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini
dibagi ke dalam lima bentuk: (a) adapted
information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan
bersama yang dicari, (b) critism,
yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain,
(c) tquestions (pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).
Berbicara monolog (Egocentric
Speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yag pada
umumnya dilakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “Socialized Speech, mengembangkan
kemampuan penyesuaian sosial (social
adjustment).
Pada fase bayi ada tiga bentuk
prabahasa yang normal muncul dalam pola perkembangan bahasa, yakni menangis,
mengoceh, dan isyarat. Menangis adalah lebih penting karena merupakan dasar
bagi perkembangan bahasa yang sebenarnya. Isyarat dipakai bayi sebagai
pengganti bahasa, sedangkan pda anak yang lebih tua atau orang dewasa, isyarat
dipakai sebagai pelengkap bahasa.karena bahasa dipelajari melalui proses meniru
maka bayi perlu memperoleh model atau contoh yang baik supaya dapat meniru
kata-kata yang baik.
Perkembangan bahasa anak usia
prasekolah, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pada usia 2,0 - 2,6 tahun yang
bercirikan:
1) Anak sudah mulai bisa menyusun
kalimat tunggal yang sempurna.
2) Anak sudah mampu memahami tentang
perbandingan, misalnya burung pipit lebih kecil dari burung perkutut, anjing
lebih besar dari kucing.
3) Anak banyak menanyakan nama dan
tempat: apa, dimana, dan dari mana.
4) Anak sudah banyak menggunakan
kata-kata yang berawalan dan yang berakhiran.
b. Pada usia 2,6 - 6,0 yang
bercirikan:
1) Anak sudah dapat menggunakan
kalimat majemuk beserta anak kalimatnya.
2) Tingkat berpikir anak sudah lebih
maju, anak banyak menanyakan soal waktu sebab-akibat melalui
pertanyaan-pertanyaan: kapan, ke mana, mengapa, dan bagaimana.
Untuk membantu perkembangan bahasa
anak, atau kemampuan bahasa anak maka orang tua dan guru Taman Kanak-kanak (TK)
seyogianya memfasilitasi, memberi kemudahan atau peluang kepada anak dengan
sebaik-baiknya. Berbagai peluang itu diantaranya sebagai berikut:
a. Bertutur kata yang baik dengan
anak.
b. Mau mendengarkan pembicaraan anak.
c. Menjawab pertanyaan anak (jangan
meremehkannya).
d. Mengajak berdialog dalam hal-hal
sederhana, seperti memelihara kebersihan rumah, sekolah dan memelihara kesehatan diri.
e. Di Taman Kanak-kanak, anak
dibiasakan untuk bertanya, mengekspresikan keinginannya, menghafal, dan
melantunkan lagu dan puisi.
Perkembangan bahasa pada usia
sekolah dasar merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan
menguasai pembendaharaan kata (vocabulary).
Pada masa ini anak sudah menguasai sekitar 2.500 kata, dan pada masa akhir
(usia 11-12 tahun) telah dapat menguasai sekitar 50.000 kata (Abin Syamsudin M,
1991; Nana Syaodih S, 1990). Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan
berkomunikasi dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan cerita
yang bersifat kritis (tentang perjalanan/ petualangan, riwayat para pahlawan,
dsb). Pada masa ini tingkat berpikir anak sudah maju, dia banyak menanyakan
soal waktu dan sebab akibat.
Terdapat dua faktor penting yang
mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu sebagai berikut:
a. Proses jadi matang, dengan
perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/ bicara sudah
berfungsi) untuk berkata-kata.
b. Proses belajar, yang berarti bahwa
anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain
dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan/ kata-kata yang didengarkannya.
Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak, sehingga pada
usia anak memasuki sekolah dasar, sudah sampai pada tingkat: (1) dapat membuat
kalimat yang lebih sempurna, (2) dapat membuat kalimat majemuk, (3) dapat
menyusun dan mengajukan pertanyaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perkembangan merupakan proses
perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat
kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan
berkesinambungan baik menyangkut fisik maupun psikis.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Dahlan Djawad. 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2. Al Idrus Agil. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Mataram:
Alam Tara Institute.
3. Syaodih, Sukmadinat Nana. 2011. Landasan Psikologi Proses pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar