Selasa, 26 Mei 2015

FUNGSI PERKEMBANGAN SOSIAL DAN BAHASA DALAM BELAJAR



FUNGSI PERKEMBANGAN SOSIAL
DAN
BAHASA DALAM BELAJAR
A.    PENGERTIAN PERKEMBANNGAN SOSIAL
Perkembangan merupakan proses perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik menyangkut fisik maupun psikis.
Perkembagan secara sistematis berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling ketergantungan atau mempengaruhi antara bagian-bagian organisme (fisik dan psikis), misalnya kemampuan berjalan anak seiring dengan matangnya otot-otot kaki atau keinginan remaja untuk memperhatikan lawan jenisnya seiring dengan matangnya organ-organ seksualnya.
Perkembangan secara progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat meningkat, dan mendalam (meluas) baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis), misalnya perubahan ukuran fisik anak atau perubahan pengetahuan dan kemampuan anak dari yang sederhana kepada yang kompleks.
Perkembangan secara berkesinambungan berarti perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan, misalnya untuk dapat berdiri, seorang anak harus menguasai tahapan perkembangan sebelumnya, yaitu kemampuan duduk dan merangkak.
B.     FUNGSI PERKEMBANGAN SOSIAL
1.      Fungsi perkembangan sosial dalam belajar
   Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial, artinya suatu proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi (meleburkan diri menjadi satu kesatuan, saling berkomunikasi dan bekerja sama).
   Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orangtua, saudara, teman sebaya atau orang dewasa lainnya.
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orangtua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan orangtua ini lazim disebut sosialisasi.
Sueannn Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan afektif.
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial. Pada usia anak, bentuk-bentuk tingkah laku sosial itu adalah sebagai berikut:
a.    Pembangkangan (Negativisme), yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntunan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul kira-kira pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun. Berkembangnya tingkah laku Negativisme pada usia ini dipandang sebagai hal yang wajar. Setelah usia empat tahun, biasanya tingkah laku ini mulai menurun. Antara usia empat dan enam tahun, sikap membangkang/ melawan secara fisik beralih menjadi sikap melawan secara verbal (menggunakan kata-kata). Sikap orangtua terhadap tingkah laku melawan pada usia ini, seyogyanya tidak memandangnya sebagai pertanda bahwa anak itu nakal, keras kepala, tolol atau sebutannya yang negatif. Dalam hal ini, sebaiknya orangtua mau memahami tentang proses perkembangan anak, yaitu bahwa secara naluriah anak itu mempunyai dorongan untuk berkembang dari posisi “dependent” (ketergantungan) ke posisi “independent” (bersikap mandiri). Tingkah laku melawan merupakan salah satu bentuk dari proses perkembangan tersebut.
b.    Agresi (agression), yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal). Maupun kata-kata (verbal). Agresi ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap frustrasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan/ keinginan) yang dialaminya. Agresi ini mewujud dalam perilaku menyerang, seperti: memukul, mencubit, menendang, menggigit, marah-marah, dan mencaci maki. Orangtua yang menghukum anak yang agresif, meningkatnya agresivitas anak. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua berusaha untuk mereduksi, mengurangi agresivitas anak tersebut dengan cara mengalihkan perhatian/ keinginan anak, memberikan mainan atau sesuatu yang diinginkannya (sepanjang tidak membahayakan keselamatannya), atau upaya lain yang bisa meredam agresivitas anak tersebut.
c.       Berselisih/ bertengkar (quarreling), terjadi apabila seorang anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap dan prilaku anak lain, seperti diganggu pada saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.
d.      Menggoda (teasing), yaitu sebagai bentuk lain dari tingkah laku agresif. Menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan), sehingga menimbulkan reaksi marah pada orang yang diserangnya.
e.         Persaingan (rivaly), yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong (di stimulasi) oleh orang lain. Sikap persaingan ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan untuk prestise dan pada usia enam tahun, semangat bersaing ini berkembang dengan lebih baik.
f.          Kerja sama (cooperation), yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok. Anak yang berusia dua atau tiga tahun belum berkembang sikap bekerja samanya, mereka masih kuat sikap”self-centered”-nya. Mulai usia tiga tahun akhir atau empat tahun, anak sudah mulai menampakkan sikap kerja samanya dengan anak lain. Pada usia enam atau tujuh tahun, sikap kerja sama ini sudah berkermbang dengan lebih baik lagi. Pada usia ini anak mau bekerja kelompok dengan teman-temannya.
g.         Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior), yaitu sejenis tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendomonasi atau bersikap” bossiness”. Wujud dari tingkah laku ini, seperti : meminta, menyuruh dan mengancam atau memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
h.         Mementingkan diri sendiri (selfishness), yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya. Anak ingin dipenuhi kenginannya apabila ditolak, maka dia protes dengan menangis, menjerit atau marah-marah.
i.           Simpati (sympati) yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerja sama dengannya. Seiring dengan bertambahnya usia anak mulai dapat mengurangi sikap “selfish“ -nya dan mulai mengembangkan sikap sosialnya, dalam hal ini rasa simpati terhadap orang lain.
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, baik orangtua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman-teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut menfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif, maka akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Namun, apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif seperti perlakuan orang tua yang kasar, sering memarahi, acuh tak acuh, tidak memberikan bimbingan, teladan, pengajaran atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma-norma, baik agama maupun tatakrama/ budi pekerti, cenderung menampilkan perilaku maladjustment (bersifat minder, senang mendominasi orang lain, egois, menyendiri, kurang memiliki rasa tenggang rasa dan kurang memperdulikan norma dalam berperilaku).
Pada usia prasekolah (terutama mulai usia 4 tahun), perkembangan sosial anak sudah tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah:
a.       Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain.
b.      Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada aturan.
c.       Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain.
d.      Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya (peer group).
      Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim sosiopsikologis keluarganya. Apabila di lingkungan keluarga tercipta suasana yang harmonis, saling memperhatikan, saling membantu (bekerja sama) dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga atau anggota keluarga, terjalin komunikasi antaranggota keluarga, dan konsisten dalam melaksanakan aturan, maka anak akan memiliki kemampuan, atau penyesuaian sosial dalam hubungan dengan orang lain. Kematangan penyesuaian sosial anak akan sangat terbantu, apabila anak dimasukkan ke Taman Kanak-kanak. TK sebagai “jembatan bergaul” merupakan tempat yang memberikan peluang kepada anak untuk belajar memperluas pergaulan sosialnya, dan menaati peraturan (kedisiplinan).
          Perkembangan sosial pada anak-anak Sekolah Dasar ditandai dengan adanya perluasan hubungan, di samping dengan keluarga juga dia mulai membentuk ikatan baru dengan teman sebaya (peer group) atau teman sekelas, sehingga ruang gerak hubungan sosialnya telah bertambah luas. Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebayanya, dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang), dia merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya.
          Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik (seperti, membersihkan kelas dan halaman sekolah), maupun tugas yang membutuhkan pikiran (seperti merencanakan kegiatan camping, membuat laporan study tour). Dengan melaksanakan tugas kelompok, peerta didik dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling mnghormati, bertenggang rasa dan bertanggung jawab.
          Pada masa remaja berkembang “social cognition” , yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini, mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan mereka (terutama teman sebaya), baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran). Dalam hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut interes, sikap, nilai, dan kepribadian.
          Pada masa ini juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran (hobby) atau keinginan orang lain (teman sebaya). Perkembangan sikap konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif maupun yang negatif bagi dirinya. Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti atau diimitasinya itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral atau agama dapat dipertanggungjawabkan, seperti kelompok remaja yang taat beribadah, memiliki budi pekerti yang luhur, rajin belajar dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, maka kemungkinan besar tersebut akan menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan sikap dan perilaku malasuai atau melecehkan nilai-nilai moral, maka kemungkinkan besar remaja akan menampilkan perilaku seperti kelompoknya tersebut.
          Remaja sebagai bunga dan harapan bangsa serta pemimpin di masa depan sangat diharapkan dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti dia memiliki penyesuaian sosial (social adjustment) yang tepat. Penyesuaian sosial ini dapat diartikan sebagai “ kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi”. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial ini, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

2.       Fungsi perkembangan bahasa dalam belajar
Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini, tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.
            Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Bahasa merupakan anugerah dari Allah Swt, yang dengannya manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam, penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan budayanya.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan. Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga kata. Laju perkembangan itu sebagai berikut:
a.       Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti: “Bapak makan”.
b.      Usia 2,0 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak tidak makan”.
c.       Pada usia selanjutnya, anak dapat menusun pendapat:
1)      Kritikan:“Ini tidak boleh, ini tidak baik”.
2)      Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi.
3)      Menarik kesimpulan analogi, seperti:  anak melihat ayahnya tidur karena sakit, pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur karena sakit.
Dalam perkembangan bahasa, ada dua tipe perkembangan bahasa anak yaitu:
a.       Egocentric Speech, yaitu anak berbicara kepada dirinya sendiri (monolog).
b.      Socialized Speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk: (a) adapted information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain, (c) tquestions (pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).
Berbicara monolog (Egocentric Speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yag pada umumnya dilakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “Socialized Speech, mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment).
Pada fase bayi ada tiga bentuk prabahasa yang normal muncul dalam pola perkembangan bahasa, yakni menangis, mengoceh, dan isyarat. Menangis adalah lebih penting karena merupakan dasar bagi perkembangan bahasa yang sebenarnya. Isyarat dipakai bayi sebagai pengganti bahasa, sedangkan pda anak yang lebih tua atau orang dewasa, isyarat dipakai sebagai pelengkap bahasa.karena bahasa dipelajari melalui proses meniru maka bayi perlu memperoleh model atau contoh yang baik supaya dapat meniru kata-kata yang baik.
Perkembangan bahasa anak usia prasekolah, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.       Pada usia 2,0 - 2,6 tahun yang bercirikan:
1)      Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna.
2)      Anak sudah mampu memahami tentang perbandingan, misalnya burung pipit lebih kecil dari burung perkutut, anjing lebih besar dari kucing.
3)      Anak banyak menanyakan nama dan tempat: apa, dimana, dan dari mana.
4)      Anak sudah banyak menggunakan kata-kata yang berawalan dan yang berakhiran.
b.      Pada usia 2,6 - 6,0 yang bercirikan:
1)      Anak sudah dapat menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya.
2)      Tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal waktu sebab-akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, ke mana, mengapa, dan bagaimana.
Untuk membantu perkembangan bahasa anak, atau kemampuan bahasa anak maka orang tua dan guru Taman Kanak-kanak (TK) seyogianya memfasilitasi, memberi kemudahan atau peluang kepada anak dengan sebaik-baiknya. Berbagai peluang itu diantaranya sebagai berikut:
a.       Bertutur kata yang baik dengan anak.
b.      Mau mendengarkan pembicaraan anak.
c.       Menjawab pertanyaan anak (jangan meremehkannya).
d.      Mengajak berdialog dalam hal-hal sederhana, seperti memelihara kebersihan rumah, sekolah  dan memelihara kesehatan diri.
e.       Di Taman Kanak-kanak, anak dibiasakan untuk bertanya, mengekspresikan keinginannya, menghafal, dan melantunkan lagu dan puisi.
Perkembangan bahasa pada usia sekolah dasar merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai pembendaharaan kata (vocabulary). Pada masa ini anak sudah menguasai sekitar 2.500 kata, dan pada masa akhir (usia 11-12 tahun) telah dapat menguasai sekitar 50.000 kata (Abin Syamsudin M, 1991; Nana Syaodih S, 1990). Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan berkomunikasi dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan cerita yang bersifat kritis (tentang perjalanan/ petualangan, riwayat para pahlawan, dsb). Pada masa ini tingkat berpikir anak sudah maju, dia banyak menanyakan soal waktu dan sebab akibat.
Terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu sebagai berikut:
a.       Proses jadi matang, dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/ bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata.
b.      Proses belajar, yang berarti bahwa anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan/ kata-kata yang didengarkannya. Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak, sehingga pada usia anak memasuki sekolah dasar, sudah sampai pada tingkat: (1) dapat membuat kalimat yang lebih sempurna, (2) dapat membuat kalimat majemuk, (3) dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perkembangan merupakan proses perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik menyangkut fisik maupun psikis.


DAFTAR PUSTAKA


1.      Dahlan Djawad. 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2.      Al Idrus Agil. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Mataram: Alam Tara Institute.
3.      Syaodih, Sukmadinat Nana. 2011. Landasan Psikologi Proses pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar