MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
TENTANG
KEDUDUKAN MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
DISUSUN :
KELOMPOK 3
1.
TRIA AMI LAKSMI
2.
DINI OKTAVIANA
3.
HARDIWI ENDANG
FASTIN
4.
ABDUL KHALIK
5.
HAFIZUDDIN
6.
HAIRUL ARRASYID
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2015
Kata Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya kami bisa mengerjakan dan menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sebagai
pegangan bagi anggota kelompok kami. Kami berharap makalah ini bermanfaat dan
memberikan pengetahuan kepada para pembaca
dan pemakalah.
Rasa terimakasih kami sampaikan kepada pihak-pihak
yang memberikan inspirasi, bantuan dan dukungan sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak, tidak
ada yang sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi perbaikan buku pedoman berikutnya dimasa mendatang.
Mataram, 30 April 2015
Penulis
Daftar isi
Halaman
Kata pengantar..................................................................................................................
Daftar isi .....................................................................................................................
BAB I
a. Latar belakang........................................................................................................
i
b. Rumusan masalah................................................................................................... i
c. Tujuan..................................................................................................................... i
BAB II
a.
kedudukan
manusia............................................................................................. 1
b.
hakikat ilmu
pengetahuan.................................................................................... 7
c.
kedudukan ilmu
pengetahuan.............................................................................. 8
d.
perintah
Al-Qur’an dalam mencari ilmu............................................................... 9
e.
cara memperoleh
ilmu pengetahuan..................................................................... 9
f.
sumber dan
fungsi ilmu pengetahuan................................................................... 10
BAB III
a. kesimpulan........................................................................................................... 11
DAFTAR RUJUKAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan Tuhan
yang lainnya, manusia diberi oleh Tuhan beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya,
yaitu akal dan daya nalar. Kemampuan manusia untuk berfikir dan bernalar itu
dimungkinkan pada manusia karena ia memiliki susunan otak paling sempurna
dibandingkan otak berbagai jenis makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, dalam
kehidupan sehari-hari manusia selalu terus berusaha untuk menambah dan mengumpulkan
ilmu pengetahuannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kedudukan manusia dalam ilmu pengetahuan?
2.
Bagaimana hakikat ilmu pengetahuan dalam filsafat
pendidikan islam?
3.
Bagaimana
kedudukan ilmu pengetahuan dalam filsafat pendididkan islam?
4.
Bagaimana
perintah Al-Qur’an dalam mencari ilmu?
5.
Bagaimana cara
memperoleh ilmu pengetahuan dalam filsafat pendidikan islam?
6.
Apakah sumber
dan fungsi pengetahuan dalam islam?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui kedudukan manusia.
2.
Untuk
mengetahui hakikat ilmu pengetahuan.
3.
Untuk
mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
4.
Untuk
mengetahui perintah Al-Qur’an dalam mencari ilmu.
5.
Untuk
mengetahui cara memperoleh ilmu pengetahuan.
6.
Untuk
mengetahui sumber dan fungsi ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kedudukan Manusia dan Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat
Pendidikan Islam
A.
Kedudukan
Manusia
Kesatuan wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh
potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan
menempatkan manusia pada posisi yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah)
dan Khalifah Allah (Khalifah fi al-ardh).
1.
Manusia sebagai
Hamba Allah (‘abd Allah)
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan,
ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada
Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya.
Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya,
manusia menjadi bagian dari setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada
sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa terlepas dari kekuasaannya.
Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama. Mulai dari manusia
purba sampai kepada manusia modern sekarang yang mengakui bahwa diluar dirinya
ada kekuasaan transendental.
Hal
ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk
beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba manusia mengasumsikannya
lewat mitos yang melahirkan agama animisme dan dinamisme.[1] Meskipun
dengan pemikiran dan kondisi yang cukup sederhana, manusia dahulu telah mengakui bahwa diluar dirinya ada zat yang
lebih berkuasa dan menguasai seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak
mengatahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini
dengan berbagai bentuk upacara ritual seperti pemujaan terhadap batu besar,
gunung, matahari dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanaya itu menjadi bukti,
bahwa ia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama. Allah SWT
berfirman:
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah
pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu ada
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui. (QS. 30 : 30)
Berdasarkan ayat diatas, jelaslah bahwa bagaimanapun modernnya atau
primitifnya suatu suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang
Maha Kuasa di luar dirinya. Selanjutnya Allah SWT berfirman:
Artinya:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku (QS. 51: 56)
Berdasarkan ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia
dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah)
kepada-Nya. Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut
informasi Al-Qur’an disebabkan telah terjadinya dialog antara Allah dan roh manusia
takkala berada di alam arwah.
Firman
Allah SWT :
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka (anak-anak Adam menjawab:
“Betul (Engkau Tuhan Kami) Kami menjadi saksi....” (QS. 7 : 172)
Dengan demikian, kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan
Tuhannya, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena manusia telah
berikrar sejak alam (mitsaq), sejak alam arwah bahwa Allah SWT adalah Tuhannya.
Kepercayaan manusia kepada Zat Maha Agung yang ada diluar dirinya juga diiringi
oleh Realisme Instinktif yang tunduk dan patuh kepada-Nya. Kepatuhan tersebut
kemudian dimanifestasikannya lewat peribadatan-peribadatan ritual, sehingga
manusia memiliki beban dan tugas sebagai makhluk pengabdi kepada Tuhannya.
Dengan demikian, rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung
merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia
sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya. Pengenalan dan pengabdian yang dilakukan
manusia sebagai realisasi kepada Tuhannya pada mulanya mereka melakukan sesuai
dengan keterbatasan akalnya. Allah tidak ingin manusia berada selalu dalam
kesesatan. Untuk itu, Allah SWT memperkenalkan kepada manusia cara melakukan
pengabdian. Dengan pendekatan dan kemampuan yang dimilikinya mengantarkan
manusia mampu melaksanakan pengabdiannya sesuai aturan yang dikehendaki Allah.
Dalam konsep animistik misalnya, manusia merasakan
ketidakmampuannya dan ingin mendapatkan perlindungan dan pertolongan kepada Zat
Yang Maha Agung. Namun, keterbatasan akalnya
manusia tidak bisa menemukannya. Akhirnya manusia purba mengkultuskan
benda-benda alam yang dianggapnya mempunyai kekuatan gaib (mana) dan selanjutnya
dilakukan penyembahan kepada benda-benda tersebut.
Untuk itu, Allah mengutus para Rasul-Nya sebagai pemberi petunjuk
kepada manusia, mana yang harus mereka sembah sebenarnya. Lewat inisiatif
pengakuan akan adanya Zat Yang Menguasainya, lewat bimbingan wahyu (ajaran
agama) yang disampaikan dengan perantaraan Rasul, diharapkan manusia akan mampu
mengenal khalidnya lewat pengabdian yang ditunjukkannya dalam kehidupan.
2.
Manusia sebagai
Khalifah Allah fi al-ardh
Bila ditinjau, kata khalifah berasal dari madli khalafa yang
berarti “mengganti dan melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada
pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinya lebih cenderung kepada
pengertian mengganti yaitu proses penggantian antara sat individu dengan
individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad
(tunggal) berarti penguasa politik dan religius. Istilah ini digunakan unutk
nabi-nabi dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk
manusia biasa digunakan khala’if yang didalamnya mengandung makna yang lebih
luas yaitu bukan hanya sebagai penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam
hubungan pembicaraan dengan kedudukan manusia dialam ini, nampaknya istilah
khala cocok digunakan dibandingkan kata khalifah. Namun demikian yang terjadi
dalam penggunaan sehari-hari adalah manusia sebagai khalifah dimuka bumi.
Pendapat yang demikian memang tidak ada salahnya karena dalam istilah khala’if
sudah terkandung makna istilah khalifah. Sebagai seorang khalifah, manusia
berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia
menggantikan kedudukan orang lain dalam aspek kepemimpinan atau kekuasaan.[2]
Untuk lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di alam ini,
dapat dilihat misalnya dalam ayat-ayat dibawah ini:
Artinya:
“dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan dia
meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat”. (QS.
Al-An’am: 165)
Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka
bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya
sendiri. (QS. Fathir : 39)
Artinya: “Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah
menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudag lenyapnya
Nuh, dan Tuhanmu telah melebihkan kekuatan tubuh dan perwakanmu (dari pada kaum
nuh itu). (QS. Al-A’raf: 69).
Ayat-ayat tersebut di atas, di samping menjelaskan kedudukan
manusia di dalam raya sebagai khalifah dalam arti yang luas juga memberi
isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam
melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Quraisy Shihab mengatakan bahwa hubungan
antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan
merupakan hubungan antara penakluk dengan ditaklukkan, atau antara tuan dengan
hamba tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Sebab,
meskipun manusia mampu mengelola (menguasai) namun hal tersebut bukan akibat
kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia.
Oleh karena itu, manusia dalam visi kekhalifahannya bukan saja sekedar
menggantikan, namun dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti
perintah yang digantikan (Allah).
Untuk melaksanakan tugasnya sebgai khalifah, Allah telah memberikan
kepada manusia seperangkat potensi
(fitrah) berupa aql, qalb, dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah
tersebut tidak otomatis berkembang, melainkan tergantung pada manusia itu
sendiri mengembangkannya. Untuk itu, Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para
Nabi agar menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya
secara utuh dan selaras dengan tujuan penciptaannya. Dengan pedoman ini manusia
akan dapat tampil sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya. Jika tidak
manusia akan tidak berbeda esensinya dengan hewan.
Dengan kedudukan, fungsi, dan kelebihan yang diberikan oleh Allah
SWT kepadanya melebihi makhluk lain, memiliki konsekuensi nilai moral religius.
Untuk itu, manusia harus mempertanggung jawabkan semua aktifitas perbuatannya
di hadapan khaliknya. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibn Umar ra. Berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta
pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinnya...” (HR. Mutafaq’Alaih).
Selanjutnya Ahmad Hasan Firhat[3],
membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk, yaitu:
Pertama, khalifah kauniyat. Dimensi ini mencakup wewenang manusia
secara umum yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan
alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia dimuka
bumi. Pemberian wewenang Allah SWT kepada manusia dalam konteks ini, meliputi
pemaknaan yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini.
Artinya, label kekhalifahan yang dimaksud diberikan keada semua manusia sebagai
penguasa alam semesta. Bila dimensi ini dijadikan standard dalam melihat predikat manusia
sebagai khalifah fi al-ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan
kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan
alam semesta sebagai konsekuensi kekhalifahannya tanpa kontrol dan melakukan
penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka
bumi bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat mafsadah
dan merugikan makhluk Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang
dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan
makhluk yag bernama manusia.
Kedua, khalifah syariyah. Dimensi ini merupakan wewenang Allah yang
diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah secara khusus
ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan agar dengan keimanan
yang dimilikinya mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam
semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat
ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan
memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.
B.
Hakikat Ilmu Pengetahuan
Menurut Quraish Shihab, kata ilmu
dalam bebrbagai bentuk terdapat 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan
dalam proses pencapaian tujuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan. Jadi
ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas tentag sesuatu. Pengetahuan yang
tidak jelas dari segi ontology, epistimologi maupun aksiologi di dalam Islam
tidak dianggap sebagai ilmu walaupun orang menyebutnya ilmu juga.
Persoalan hakikat ilmu pengetahuan
atau apa sebenarnya pengetahuan (ontology) telah menjadi perdebatan antara kaum
materialis dan kaum idealis. Kaum materialis hanya mengenal pengetahuan yang
bersifat empiris dengan pengertian bahwa pengetahuan hanya diperoleh dengan
menggunakan akal atau indera yang bersifat empiris dan terdapat di alam materi
yang ada di dunia ini. Sedangkan menurut kaum idealis, termasuk Islam, ilmu
pengetahuan bukan hanya diperoleh dengan perantaraan akal dan indera yang
bersifat empiris saja¸ tetapi juga ada pengetahuan yang bersifat immateri,
yaitu ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah sebagai Khalid (Pencipta) pengetahuan
tersebut.[4]
Beberapa pandangan yang berbeda
tentang pengetahuan yakni: pandangan aliran realisme, idealisme, dan
pragmatisme.[5]
1.
Realisme.
Secara
umum, aliran filsafat realisme berpendapat bahwa dunia material merupakan dunia
yang riil (nyata) dan bukan sesuatu yang maya. Dunia material seperti meja,
kursi, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan lainnya dalam pikiran manusa,
melainkan wujud itu sendiri.
2.
Idealisme
Idealisme
secara umum merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa sesungguhnya yang
riil (nyata) itu bersifat ruhani, dan itu adalah ide (gagasan dan kesadaran)
yang ada dalam subyek. Keberadaan dan arti benda-benda material tergantung
kepada subjek yang mengamati dan memahaminya dengan akal budi.
3.
Pragmatisme
Pragmatisme
merupakan aliran filsafat yang muncul dan berkembang di Amerika Serikat dan
dipelopori oleh tokoh-tokohnya seperti Carles S. Pierce, Jhon Dewey dan Wiliam
James. Ilmu pengetahuan modern amat berpengaruh pada metode dan bangunan
filsafat mereka. Seperti halnya idealisme, pragmatisme berpendapat bahwa akal
budi manusia itu aktif mencari pengetahuan dan bukan hanya pasif menerima saja
apa yang diberikan dari luar.
Pengethauan merupakan hasil interaksi atau transaksi dengan lingkungan.
C.
Kedudukan Ilmu
Pengetahuan
Ilmu menempati kedudukan yang sangat
penting dalam ajaran islam. Hal ini banyak terlihat dari banyaknya ayat
Al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia
disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk
terus menuntut ilmu.
Didalam Al-Qur’an, kata ilmu
digunakan lebih dari 780 kali, ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana
tercermin dari Al-Qur’an sangat kental dengan nuansa yang berkaitan dengan
ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam sebagaimana
dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani sebagai berikut: “Salah satu ciri yang
membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu
(sains), Al-Qur’an dan Al-Sunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan
mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang pengetahuan
pada derajat tinggi”.
D.
Perintah
Al-Qur’an untuk mencari, menemukan dan mempelajari ilmu.
Perintah Al-Qur’an untuk mencari
ilmu dapat dipahami dari dua aspek:
1.
Al-Qur’an
menyuruh manusia menggunakan akal.
Ratio
(akal) adalah merupakan salah satu dari perangkat anugerah (hidayah) yang
diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
2.
Al-Qur’an
menyuruh manusia meneliti alam semesta.
alam
semesta (universum, kosmos, al-kaun) merupakan realitas yang dihadapi manusia
yang sampai kini baru sebagian kecil yang dapat diketahui dan diungkap oleh
manusia. Bagian terbesar masih merupakan suatu misteri, yang tidak dikenal oleh
manusia betapapun kemajuan yang telah mereka capai dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
E.
Cara memperoleh
pengetahuan
Dalam filsafat ilmu cara mendapatkan
pengetahuan ilmu dinamakan epistimologi. Dalam epistimologi Islam, pengetahuan
diperoleh melalui dua cara yaitu: melalui usaha manusia dan yang diberikan oleh
Allah SWT.
Pengetahuan yang diperoleh melalui
manusia usaha manusia, ada 4 jenisnya yaitu:
1.
Pengetahuan
empiris yang diperoleh melalui indera.
2.
Pengetahuan
sains yang diperoleh melalui indera dan akal.
3.
Pengetahuan
filsafat yang diperoleh melalui akal.
4.
Pengetahuan
intuisi yang diperoleh melalui qalb (hati).
Sedangkan pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT, berupa:
1.
Wahyu yang
disampaikan kepada para Rasul.
2.
Ilham yang
diterima oleh akal manusia
3.
Hidayah yang
diterima oleh qalb manusia.
F.
Sumber dan
Fungsi Pengetahuan
Sumber utama dari ikmu pengetahuan
dalam Islam adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kebenaran yang langsung
disampaikan Tuhan kepada salah seorang hamba-Nya, yang dipilih-Nya, yang di
sebut Rasul atau Nabi.
Al-Qur’an disamping mengandung
petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunan yang bersifat ubudiyah dan akhlaqiyah
(moral), juga mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat dipedomani manusia untuk mengolah dan menyelidiki alam semesta, atau
untuk mengerti gejala-gejala dan hakekat hidup yang dihadapinya dari masa ke
masa. Oleh karena itu, manusia berkewajiban untuk mencari dan menggali dari
prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan-kemampuan
ijtihad dan daya analisis yang terdapat dalam diri manusia. Al-Qur’an merupakan
ayat Allah beriringan dan berdampingan dengan Sunnatullah yang menjadi dasar
pergerakan dan perjalanan alam ini. Sehingga antara alam dan Al-Qur’an tidak
dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling menafsirkan dan saling
memberi petunjuk kepada manusia mengenai jalan yang harus ditempuh untuk
mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi.
Adapun fungsi ilmu pengetahuan
secara umum adalah : untuk berubudiyah kepada Allah, untuk dapat membedakan
antara hak dan yag bathil, yang salah dan dan yang benar, serta sebagai modal
untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Rasulullah
SAW telah bersabda:
Artinya: “Siapa yang bermaksud untuk urusan di dunia maka harus
dengan ilmu, siapa yang bermaksud untuk keduanya harus dengan ilmu”. (HR.
Muslim)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Kemampuan
manusia dalam mengembangkan kemampuan tidak lepas dari kemampuan menalar.
Manusia satu-satunya yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh.
Pengetahuan adalah suatu hasil dari pengamatan dan juga pengalaman yang
dirasakan oleh panca indera, sehingga kita menjadi tahu, dan bagian dari pengetahuan adalah ilmu.
Ilmu adalah hasil dari proses berfikir dengan pertanyaan “bagaimana hal itu
bisa terjadi?”, dengan pertanyaan itu maka manusia akan berusaha untuk
melakukan sebuah penelitian sehingga akan mendapatkan kesimpulan, ilmu adalah
pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu.
DAFTAR RUJUKAN
1. Ramayulis dan Nizar, Samsul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Kalam Mulia.
2. Hasan, Ahmad. 1992. Khilafah Fi Al-Ardh Pembahasan Kontekstual.
Jakarta: CV Cakrawala Persada.
3. Thoib, Ismail. Meretas Filsafat Pendidikan Islam.
[1] Ramayulis dan
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2009).
Hal. 57
[2] Ibid. Filsafat
Pendidikan Islam. Hal. 60
[3] Hasan, Ahmad. Khilafah fi al-Ardh
Pembahasan Kontekstual. (Jakarta: CV Cakrawala Persada, 1992). Hal. 50
[4] Ramayulis dan
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2009).
Hal.75
[5] Thoib, Ismail.
Meretas Filsafat Pendidikan Islam. Hal. 115
kami sekeluarga tak lupa mengucapkan puji syukur kepada ALLAH S,W,T
BalasHapusdan terima kasih banyak kepada MBAH atas nomor togel.nya yang MBAH
berikan 4 angka 7643 alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus MBAH.
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu MBAH. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan MBAH..
sekali lagi makasih banyak ya MBAH … bagi saudara yang suka main togel
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi MBAH BAKARO,,di no ((( 082-333-348-575 )))
insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 275
juta, wassalam.
dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....
Kami Berani Bersumpah Bahwa Ini Kisah Nyata Dari Kami Demih Allah Demi Tuhan.
Cuma mbah bakaro.Yg Bisa Membuktikan Angkanya,
Karna Sudah Banyak Dukun2 Yg Kami Hubungi Tidak Ada Satupun Yg Membawakan Hasil.
Jika Anda Ingin Merasakan Kemenangan Dalam Permainan Angka Togel 2D,3D,4D 5D, 6D,di Jamin Tembus 100%.
Bilah Ada Waktu Silahkan Tlpon MBAH BAKARO .Nomor Hp: : 082-333-348-575-